Bencana alam bisa terjadi kapanpun dan dimana saja, saat hal ini terjadi apa yang harus kita lakukan untuk menyelamatkan diri kita ? apa saja langkah-langkah pengungsian yang dilakukan ? dan apa saja yang harus dipersiapkan terlebih dahulu ? untuk menjawab pertanyaan tadi, kita harus tau apa itu yang disebut pengungsi terlebih dahulu. Direktur Penanganan Pengungsi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Ir. Taufik Kartiko, M.Si., mengatakan, “Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pengertian pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk bencana. Kebijakan penanganan pengungsi pun diuraikan secara lengkap dalam Undang-Undang itu.”
Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dan tingginya intensitas aktifitas manusia dalam mengubah tata guna lahan akan mempertinggi tingkat resiko pada daerah rawan bencana tanah longsor. Keadaan ini terus berlangsung karena kurangnya tingkat kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat dan pemerintah serta kebiasaan masyarakat menanam tanaman yang mengakibatkan tingginya tingkat resiko longsor.
Adanya ketidakstabilan tanah pada suatu daerah dapat memberikan pengaruh yang bervariasi tergantung pada sifat, besar, dan jangkauan tanah longsor tersebut.
Bencana longsor menimbulkan trauma terhadap masyarakat karena mengakibatkan banyaknya korban jiwa, selain itu juga banyak kerugian yang disebabkan. Kerugian yang dihasilkan seperti kerusakan infrastruktur, pemukiman, lahan pertanian, serta menewaskan hewan ternak warga.
Selain upaya untuk mengurangi resiko dari longsor, perlu diwaspadai juga resiko terjadinya longsor susulan.
Menurut Dr. Ngadisih, normalnya resiko reaktivasi longsor bisa menurun jika lokasi longsor tersebut tidak diusik selama 20 tahun, karena itu merupakan waktu yang lama dan tidak menutup kemungkinan mempengaruhi daerah sekitarnya jadi untuk lahan pertanian di wilayah yang rawan longsor ini diperlukan perlakuan khusus jika tidak bisa jadi akan menyebabkan meningkatnya resiko longsor.
Pada hari senin (7/9) , Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem (DTPB) Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM bekerjasama dengan Yanmar Environment Sustainable Support Association (YESSA) Jepang menyelenggarakan kegiatan “Pelatihan Teknologi Beverage Berbahan Dasar Lokal”.
Pelatihan ini dilaksanakan pada pukul 10.00 – 12.00 WIB bertempat di rumah Dukuh Nawungan 1 Desa Selopamioro Kecamatan Imogiri. Pada pelatihan ini, dihadiri oleh 3 orang perwakilan pemudi pengelola wisata Bukit Dermo dan 3 orang ibu rumah tangga warga Nawungan. Arifin Dwi Saputro, STP., M.Sc., PhD selaku dosen di bidang Teknik Pangan dan Pascapanen DTPB FTP UGM menjadi Narasumber. Selain itu, pelatihan menghadirkan praktisi di bidang pembuatan jus buah-buahan yaitu Bapak Adhita Prawatyo dan dipandu oleh Dr. Joko Nugroho W.K., STP., M.Eng, selaku kepala Laboratorium Teknik Pangan dan Pascapanen.
Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dan tingginya intensitas aktifitas manusia dalam mengubah tata guna lahan akan mempertinggi tingkat resiko pada daerah rawan bencana tanah longsor. Keadaan ini terus berlangsung karena kurangnya tingkat kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat dan pemerintah serta kebiasaan masyarakat menanam tanaman yang mengakibatkan tingginya tingkat resiko longsor.
Adanya ketidakstabilan tanah pada suatu daerah dapat memberikan pengaruh yang bervariasi tergantung pada sifat, besar, dan jangkauan tanah longsor tersebut.
Bencana longsor menimbulkan trauma terhadap masyarakat karena mengakibatkan banyaknya korban jiwa, selain itu juga banyak kerugian yang disebabkan. Kerugian yang dihasilkan seperti kerusakan infrastruktur, pemukiman, lahan pertanian, serta menewaskan hewan ternak warga.
Selain upaya untuk mengurangi resiko dari longsor, perlu diwaspadai juga resiko terjadinya longsor susulan.
Menurut Dr. Ngadisih, normalnya resiko reaktivasi longsor bisa menurun jika lokasi longsor tersebut tidak diusik selama 20 tahun, karena itu merupakan waktu yang lama dan tidak menutup kemungkinan mempengaruhi daerah sekitarnya jadi untuk lahan pertanian di wilayah yang rawan longsor ini diperlukan perlakuan khusus jika tidak bisa jadi akan menyebabkan meningkatnya resiko longsor.
Hujan deras selama seharian yang melanda kabupaten bantul pada 17 maret lalu menyebabkan longsor yang mengakibatkan sejumlah kerusakan pada sarana dan prasarana di sejumlah desa di kabupaten Bantul. Kerusakan pada sejumlah sarana dan prasarana ini mengakibatkan kerugian bagi warga terutama pada desa Sriharjo, pada desa ini terdapat sungai dan akses untuk menyebrangi sungai ini rusak parah.
Untuk itu, saat ini masih dilakukan berbagai pemulihan dan normalisasi fungsi pelayanan publik sebagai upaya penanganan sementara pascabanjir dan longsor. Termasuk perbaikan sarana dan prasarana maupun pembersihan lingkungan yang masih diperlukan.
Dalam pembuatan peta bencana terkadang kita membutuhkan data bencana beberapa tahun yang lalu. Namun, karena kurangnya kesadaran perangkat desa yang berada di wilayah rawan bencana untuk mencatat detail bencana ini. Peneliti yang bertugas untuk membuat peta rawan bencana agak kesulitan karena selain meneliti struktur lahan di wilayah tersebut juga membutuhkan data historial dari bencana yang terjadi di wilayah tersebut.
Selain itu, masalah yang kerap terjadi yaitu peta rawan bencana kurang mengedukasi warga akibatnya terdapat warga wang kurang faham dengan peta yang telah dibuat oleh peneliti. Oleh karen itu dikembangkan pemetaan kerawanan berdasarkan pengetahuan masyarakat. Disamping masyarakat bisa teredukasi dengan peta yang telah dibuat juga peneliti dapat memvalidasi peta tersebut karena dari pengetahuan masyarakat inilah kita mendapatkan data historial bencana pada sebuah wilayah.
Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang berada di suatu wilayah dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal diwariskan secara turun-temurun melalui cerita, syair, atau pun dongeng. Ternyata melalui cerita rakyat lahir pengetahuan kearifan lokal yang berkaitan dengan bencana alam.
Bencana alam yang terjadi ternyata menyadarkan masyarakat mengenai nilai kearifan lokal yang dimiliki suku-suku bangsa di Indonesia dalam menghadapi kejadian bencana alam yang berkembang di setiap daerah. Kearifan lokal ini dapat menjadi bagian dari pendidikan siaga bencana yang sesuai dengan karakteristik lokal dan diperbarui sesuai dengan kejadian-kejadian bencana terbaru. Kedekatan dengan alam juga menjadikan masyarakat lokal memiliki potensi untuk menyelamatkan diri dari bencana yang terjadi, hal ini dikarenakan masyarakat lokal dapat membaca situasi/keadaan alam disekitar mereka sehingga mereka dapat mengetahui jika akan terjadi sesuatu.
Saat mendengar kalimat penganggulangan bencana apa yang terlintas di benak kita ? Ya pasti semua mengarah ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tapi apa badan nasional ini bertanggungjawab penuh atas penanggulangan bencana ? Jawabannya tidak, karena bencana yang melanda suatu wilayah itu tergolong multi sektoral dengan kata lain instansi-instansi lain diluar BNPB juga bertanggung jawab pada sektornya masing masing.
Berdasarkan website resmi BNPB, badan nasional ini memiliki fungsi perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat serta efektif dan efisien; dan Pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh. Selain itu BNPB memiliki fungsi sebagai berikut: